Spread the love

SURABAYA – Suara musik elektronik terdengar nyaring memenuhi ruang Galeri Surabaya. Sementara seiris tipis cahaya menyorot dari media tata lighting, membentuk beragam siluet bergerak melintas ke tengah ruang. Sekitar seratus lebih audien dibuat terkesima dengan perform musik eksperimental dari Jonas Sestakresna, satu dari empat musisi yang menyajikan karyanya malam itu, Kamis (23/2/2023) di Galeri Surabaya, Gedung Balai Pemuda.

Musisi kelahiran Malang, Jawa Timur, yang kini bermukim di Denpasar, Bali, itu mengatakan, empat musisi yang tampil malam itu, menyajikan karya audio visual, yaitu musik eksperimental. Namun masing-masing musisi memiliki kekhasan atau keunikan karya masing masing.

“ Musik eksperimental sendiri tidak bisa dikatakan sebagai hal baru. Saat ini pun mulai banyak anak muda yang mulai memasuki ke wilayah musik ekperimental ini. Kami sendiri ingin menunjukkan masih eksis di musik eksperimental ini, ” ucap Jonas Sestakresna.

Tour musik eksperimental ini sendiri bertajuk Batu Tua. Ini mengacu pada instrument, atau batuan yang digunakan oleh salah satu musisi dari Swiss, yaitu Simon Berz. Selain Simon, ada tiga musisi lain yang menampilkan karya dengan bentuk yang berbeda-beda, yaitu Jonas Sestakresna, Joko Porong, dan Arif Santuy. Meski menggelar tour bersama, namun keempat musisi tersebut tidak membentuk sebuah karya musik kolaborasi.

“ Tidak mungkin untuk memaksakan sebuah bentuk kolaborasi bermusik, karena memang bentuk konsep eksplorasinya berbeda-beda, ” ucap Jonas.

Perbedaan dalam karya seni ini pun dapat dipandang sebagai ruang yang memperkaya wacana dan pola pikir serta ruang untuk berdialog. Ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Chrisman Hadi, dalam sambutannya saat membuka acara ini.

“ Perbedaan eksplorasi berkesenian ini bukanlah ruang untuk menganggap diri sendiri sebagai paling benar, sebaliknya perbedaan inilah yang memperkaya wacana dan pola pikir kita serta menjadi ruang untuk kita saling berdialog, ” tutur Chrisman.

Sebagai penampil pertama, Jonas Sestakresna hadir dengan musik elektronik dan visual grafis yang dibarengi dengan bentuk siluet – siluet cahaya dari tubuh Jonas sendiri maupun siluet persegi yang menawarkan beragam pemaknaan bagi audien. Joko Porong, yang juga dosen di kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menampilkan musik plastik.

“ Ini adalah bentuk respon saya terhadap keberadaan plastik yang saya temui sehari hari, melekat dalam kehidupan kita, dalam beragam bentuk hingga kini, termasuk dalam bentuk sampah, ” ucap seniman Joko Porong.

Dengan lima orang remaja yang ‘bermain-main’ dengan plastik, seolah memberikan cermin kehidupan generasi muda saat ini yang harus menjalani hidup sehari hari dengan plastik. Isu polusi dilemparkan oleh Joko Porong melalui beragam bunyi yang bisa ditimbulkan dari eksplorasi bahan plastik tersebut
Sementara Simon Berz sendiri menampilkan karya musik eksperimental yang dihadirkan dengan menggunakan instrument lempengan batu yang diambil dari Islandia. Bukan hanya media batu tua, Simon juga menggunakan seks toy berupa vibrator. Melalui ketukan pada batu dan getaran vibrator di atas batu menghasilkan rangkaian bunyi yang sangat menarik.

Meski menolak untuk mengungkapkan secara harafiah pesan yang ingin disampaikan, melalui ritmis bunyi tersebut, Simon membuka banyak ruang wacana untuk dialog. Mulai dari benda media instrument batu tua berusia jutaan tahun yang diambil usai badai es dari kawasan vulkanik di Islandia, polusi yang dibawa oleh vibrator plastik, ketergantungan masyarakat masa kini pada teknologi gadget, hingga pada interaksi budaya tradisional dengan modern.

“ Saya tidak ingin secara didaktik menyampaikan apa yang orang harus pikirkan melalui karya musik yang saya tampilkan, tetapi saya ingin orang menemukan sendiri apa yang mereka dapatkan dari kerya saya. Saya bermain musik dengan batu, dan vibrator, ” ucap Simon yang hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris ini.

Dalam tour selama kurang lebih 7 hari, di 6 kota, Simon mengaku terkesan dengan kerjasama tim dan masyarakat yang ditemuinya.

“ Tim saling membantu satu sama lain, masyarakat menyambut kami dengan ramah, dengan kebudayaan mereka yang sangat beragam, sikap penghargaan terhadap kebudayaan, yang disertai dengan sikap terbuka terhadap bentuk budaya yang lain. Meski kita tidak benar-benar mengerti karena komunikasi dengan bahasa yang berbeda, namun melalui seni kita bisa saling memahami, ” pungkasnya. (endang)

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights